Penulis: – Nurlaeli Samiun, Fakultas Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
– Dzul Azmi Muhammad, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
——-
Perkembangan dunia teknologi dan informasi telah menyebabkan perubahan terhadap perkembangan tindak kejahatan di dunia, khususnya pada kasus kekerasan seksual. Sehingga munculnya istilah Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) yang dapat diartikan sebagai kekerasan yang mempunyai maksud untuk melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual melalui teknologi.[1] Berdasarkan data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2021, kasus KBGO mengalami kenaikan pesat, yakni dari 281 kasus pada 2019 dan naik menjadi 942 kasus pada 2020 hal ini dilatarbelakangi dari kenaikan jumlah pengguna internet sehingga berimplikasi juga terhadap naiknya tingkat kejahatan siber (cyber crime).[2] Pada fakta di lapangan dalam kasus KBGO ini didominasi oleh pihak perempuan.
Adanya peningkatan KBGO menunjukkan masih kurangnya pencegahan, penindakan, dan perlindungan terhadap korban. Terdapat setidaknya 11 jenis kriteria kasus yang termasuk dalam kategori KBGO, salah satunya Non Consensual Intimate Image (NCII) atau biasa dikenal dengan revenge porn. Pada tahun ini, terdapat suatu kasus revenge porn yang terjadi hingga menimbulkan kegaduhan pada masyarakat dunia maya. Salah satunya yakni pada kasus seorang artis Rebecca Klopper, dimana tersebarnya video intim nonconsensual berdurasi 47 detik yang dilakukan oleh Rebecca Klopper.[3] Berdasarkan respon masyarakat terhadap kasus tersebut, kurangnya pemahaman masyarakat terkait perlindungan hukum terhadap korban dan pertanggungjawaban pelaku atas perkara revenge porn tersebut.
Istilah kata revenge porn diartikan sebagai penyebarluasan informasi bermuatan pornografi tanpa adanya persetujuan, terutama oleh korban atau dapat dimaknai dengan “the distribution of sexually graphic images of individuals without their consent” atau “the sharing of intimate images without the consent of person depicted”,[4]para kalangan hukum menyebutnya dengan nonconsensual pornography atau involuntary pornography yang dapat diartikan sebagai pornografi balas dendam. Dalam hal ini korban kerap kali ditempatkan dalam skandal tersebut sebagai “pihak yang bersalah” dan kerap kali masyarakat menyalahkan korban dan memberikan tanggapan bahwa korban melakukan victim-blaming atau dengan istilah lainnya yakni slut-shaming. Hal ini terjadi pada kasus Rebecca Klopper, dimana banyak masyarakat menyalahkan korban dan menganggap korban melakukan victim-blaming serta memberikan dukungan kepada pelaku.[5] Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan bagi para korban revenge porn untuk memberikan rasa aman dan keadilan kepada korban. Perlindungan tersebut dapat berupa:
- Bantuan Hukum, merupakan bentuk bantuan yang dapat digunakan oleh para korban kejahatan, baik ada atau tidaknya permintaan dari korban, dalam hal ini para korban revenge porn berhak mendapatkan bantuan hukum karena apabila para korban tidak mendapatkan bantuan hukum akan mempersulit posisi korban.
- Restitusi yakni wujud dari ganti rugi bagi korban sebagaimana yang tertera dalam UU Perlindungan Saksi dan korban yang diberikan kepada keluarga korban yang mengalami kerugian oleh pelaku atau pihak ketiga.
- Konseling merupakan proses bantuan berupa konsultasi bersama konselor yang diberikan kepada para individu yang mengalami permasalahan, layanan bantuan ini berupa bantuan psikolog yang sangat dibutuhkan oleh para korban untuk memperbaiki kondisi mental korban dan membantu agar korban dapat kembali ke dalam kondisi yang baik.
- Ganti Rugi merupakan bentuk bantuan kepada korban dengan membangun rasa keadilan dan kesejahteraan sehingga membangun rasa keadilan melalui pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagai pemenuhan hak dan kewajiban.
- Pemberian informasi bagi korban, karena adanya informasi yang disampaikan kepada korban atau keluarga korban terkait proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban menjadi bagian penting sebagai upaya untuk menjaga efektivitas fungsi community control atas kinerja kepolisian terhadap masyarakat.
- Pelayanan Medis merupakan segala upaya yang dilakukan sendiri atau bersama- sama dalam sebuah organisasi yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit yang diderita, serta memulihkan kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Kegiatan pemeriksaan yang kemudian dibuatkan laporan medis secara tertulis dan berkekuatan hukum, dapat digunakan sebagai alat bukti yang berupa visum atau surat keterangan medis. Hasil pemeriksaan medis digunakan korban apabila hendak melaporkan kejahatan yang dialaminya kepada pihak berwenang, dalam hal ini adalah kepolisian untuk ditindaklanjuti.
Selain itu, terdapat bentuk pertanggungjawaban bagi pelaku revenge porn yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, pelaku revenge porn dapat terjerat pasal-pasal yang menyangkut revenge porn yakni:
- Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, menyatakan bahwa “Dilarang untuk memproduksikan, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimporkan, mengeksporkan, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan muatan pornografi.”
- Pasal 29 UU Pornografi, menyatakan bahwa, “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”
- Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa, “Dilarang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
- Adapun ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU bahwa, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
- Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menyatakan bahwa “setiap orang yang tanpa hak:
- melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;
- mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual;
dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Oleh karena itu, perlunya masyarakat untuk mengetahui adanya perlindungan hukum bagi korban untuk memberikan rasa aman dan keadilan seperti dilakukannya bantuan hukum, restitusi, konseling, ganti rugi, pemberian informasi kepada korban, dan pelayanan medis. dan adanya bentuk pertanggungjawaban bagi pelaku yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan regulasi yang berlaku. Selain itu, pemerintah perlu untuk menerapkan secara tegas dan konsisten dalam menindak pelaku. Sehingga diharapkan dapat mengurangi kasus revenge porn, memberikan perlindungan yang lebih baik kepada korban, dan mendorong perubahan sosial yang positif terkait pandangan masyarakat terhadap kekerasan gender berbasis online.
[1] Syaharani, Mela. 2023. “Jumlah Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online Tahun 2022 Menurut, Berapa Totalnya?”. https://goodstats.id/article/jumlah-kasus-kekerasan-berbasis-gender-online-tahun-2022-menurun-berapa-totalnya-3EFTc
[2] Komnas Perempuan. “Perempuan Dalam Himpitan Pandemi : Lonjakan Kekerasan Seksual,Kekerasan Siber,Perkawinan Anak,Dan Keterbatasan Penanganan Ditengah Covid-19.” Catahu 2021 138, no. 9 (2021): 1689–1699.
[3] Rahmatika, Nurisma. 2023. “Revenge Porn di Kasus Rebecca Klopper, Ironi yang Membungkam Korban.” https://apahabar.com/post/revenge-porn-di-kasus-rebecca-klopper-ironi-yang-membungkam-korban-lil7biea
[4] Tyrone Kirchengast, “The Limits of Criminal Law and Justice: ‘revenge porn’ Criminalization, Hybird Responses and The Ideal Victim”, Unisa Student Law Review, Vol. 2, No. 42, hlm. 96.
[5] Zahra, Abid Fatem. “Revenge porn: Bahaya Hiperealitas dan Kekerasan Siber Berbasis Gender”. IIS Brief 2 (2018), hlm. 3.
Tinggalkan Balasan