LEGAL OPINI – Ketika seorang Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan seorang Warga Negara Asing (WNA)

oleh: Bonita Clarisa, Qinthara Nabilah, dan Shaima Chadijah

Isu Hukum

            Ketika seorang Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan seorang Warga Negara Asing  (WNA) maka bagaimanakah proses pembuatan Prenuptional Agreement atau Perjanjian Pranikah, apakah harus didaftarkan melalui Pengadilan atau dapat dengan cara lain? dan bagaimanakah prosedurnya?

Peraturan Terkait

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
  5. Surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor:  B. 2674/DJ.III/KW.00/9/2017
  6. Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan

Analisis

            Perjanjian pranikah diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.” Selanjutnya pengaturan mengenai perjanjian pranikah diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 menjadi, “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” 

            Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tersebut, maka waktu pembuatan perjanjian pranikah diperluas, sehingga dapat dilakukan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, ataupun selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak. Perluasan lainnya adalah oleh siapa perjanjian pranikah tersebut dapat disahkan, bahwa setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, selain pegawai pencatat perkawinan, notaris juga dapat melakukan pengesahan terhadap perjanjian pranikah tersebut.

            Terkait dengan pendaftaran perjanjian pranikah, perjanjian ini harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan (pegawai KUA dan pegawai pencatat sipil) dan sebaiknya dibuat dihadapan notaris. Perjanjian pranikah juga harus didaftarkan dengan tujuan memenuhi unsur publisitas dari perjanjian pranikah yang telah dibuat sebelumya. Hal tersebut bertujuan agar pihak-pihak diluar pasangan suami istri tersebut mengetahui dan tunduk pada aturan yang dibuat didalam perjanjian, contohnya apabila pasangan suami istri membuat kesepakatan pisah harta. Apabila tidak didaftarkan, maka perjanjian pisah harta hanya berlaku untuk para pihak yang ada di dalam akta, dalam hal ini hanyalah suami dan istri yang bersangkutan.

            Adapun isi dalam perjanjian pranikah dapat mengatur terkait dengan banyak hal, antara lain terkait dengan pemisahan harta, perihal pemisahan utang, hak asuh anak apabila terjadi perceraian, hak dan kewajiban selama perkawinan berlangsung, serta kesepakatan-kesepakatan lain yang perlu dituliskan. Perjanjian pranikah ini bermanfaat untuk dibuat dalam rangka menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan dimungkinkan untuk terjadi, antara lain:[1]

  1. Apabila jumlah harta kekayaan salah satu pihak baik suami/istri lebih besar;
  2. Apabila masing-masing pihak memiliki pemasukan yang cukup besar;
  3. Apabila masing-masing pihak memiliki usaha sendiri sehingga perjanjian dibuat agar pihak lain tidak tersangkut manakala salah satu pihak mengalami pailit;
  4. Apabila salah satu atau masing-masing pihak memiliki utang sebelum perkawinan dan hendak bertanggung jawab sendiri.

Perjanjian Pranikah dalam Perkawinan Campuran

            Apabila dikaitkan dengan manfaat perjanjian pranikah bagi perkawinan campuran antara WNI dan WNA, Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa hak milik atas tanah tidak dapat dimiliki oleh WNA, sedangkan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi harta bersama. Untuk itu, jika perjanjian pranikah dalam perkawinan campuran tidak dibuat, maka akan mengakibatkan segala bentuk harta benda berupa benda yang tidak bergerak seperti tanah ataupun rumah milik WNI dalam pernikahan tersebut akan dipersamakan dengan pihak WNA, di mana dalam hal kepemilikian tanah tidak lagi memiliki hak milik melainkan hanya sebatas hak pakai yang memiliki jangka waktu 30 tahun.faga

Tata Cara Pendaftaran Perjanjian Perkawinan bagi WNI Muslim

            Bagi pasangan yang beragama islam maka pencatatan perjanjian pranikah dilaksanakan berdasarkan Surat Kementerian Agama No. B. 2674/DJ.III/KW.00/9/2007 dimana perjanjian pranikah disahkan dengan akta notaris dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Persyaratan yang harus dibawa ketika perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan diantaranya ialah: [2]

  1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
  2. Foto copy Kartu Keluarga (KK); dan
  3. Foto copy salinan akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir.

Begitu juga terhadap perjanjian pranikah yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan sama seperti sebelum dan saat perkawinan namun perbedaannya terletak pada adanya bukuh nikah suami dan isteri.

Tata Cara Pendaftaran Perjanjian Perkawinan bagi WNI Non Muslim

            Sedangkan bagi pasangan beragama selain islam maka pencatatan perjanjian pranikah dilaksanakan berdasarkan Surat Dirjen 472.2/2017 tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan dimana perjanjian pranikah disahkan dengan akta notaris dan dilaporkan pada Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana (UPT). Perjanjian pranikah yang didaftarkan sebelum atau saat perkawinan wajib membawa: [3]

  1. Foto copy KTP Elektronik;
  2. Foto copy Kartu Keluarga; dan
  3. Foto copy Akta Notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir dengan meunjukan dokumen asli.

Hal tersebut juga berlaku bagi perjanjian pranikah yang dibuat dalam ikatan perkawinan sama seperti sebelum dan saat perkawinan namun perbedaannya terletak pada kutipan akta perkawinan suami dan istri.

Kesimpulan

            Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, maka perjanjian pranikah dapat dibuat sebelum, saat, dan dalam perkawinan dengan tata cara yang berbeda antara WNI beragama islam harus didaftarkan pada pegawai pencatatan nikah, sedangkan bagi WNI dengan agama selain islam didaftarkan pada Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana. Selain itu, arti penting perjanjian pranikah bagi perkawinan campuran antara WNI dan WNA terkait dengan pemisahan harta bersama antara pasangan suami istri yang bersangkutan.


[1] Tim Hukumonline, “Mengenal Pengertian Perjanjian Pranikah, Tujuan, Isi, dan Larangannya.” https://www.hukumonline.com/berita/a/perjanjian-pranikah-lt61e183be2eb91/?page=all. (Accessed 30 September, 2022)

[2] Irma Devita Purnamasari, “Sahkah Perjanjian Kawin yang Tak Didaftarkan ke Pengadilan?” https://www.hukumonline.com/klinik/a/sahkah-perjanjian-kawin-yang-tak-didaftarkan-ke-pengadilan-lt525dffe353c5e (Accessed 30 September, 2022)

[3] Ibid

Share:

Categories:

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Open chat
    Hi
    Ada Yang bisa kami bantu..??