Baru-baru ini beredar kabar tentang penganiayaan yang dialami perempuan berinisial TA atau merupakan istri sah dari AK. Penganiayaan tersebut bermula ketika TA pulang ke rumah dan AK menghalang-menghalangi TA, sehingga TA merasa ada kejanggalan yang membuat ia mencurigai suaminya menyembunyikan sesuatu.
Selama 3 jam, TA dan AK terlibat cekcok hingga TA diusir oleh suaminya AK dan menyebabkan TA mendapatkan kekerasan verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh AK. Walaupun sudah mendapatkan kekerasan tersebut, TA tetap bersikeras untuk membuka pintu kamar yang berada di lantai dua dan ia meyakini bahwa ada yang disembunyikan oleh suaminya.
Akhirnya setelah menunggu lama, pintu tersebut terbuka dan yang keluar malah seorang perempuan yang tidak ia kenal. Perempuan tersebut merupakan selingkuhan suaminya yang berinisial LY. Setelah membuka pintu, kemudian LY dengan sadar langsung menampar TA sebanyak 2 kali, namun TA tidak membalas perlakuan LY tersebut.
Karena kejadian tersebut kemudian TA melaporkan AK atas dugaan KDRT 9 Mei 2023 dengan Nomor LP/09/V/2023/DIY/KLP/PENGASIH. Dalam hal ini AK dikenakan pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) bahwa:
”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).” Sebagaimana kekerasan fisik yang dimaksud oleh pasal 44 UU PKDRT ialah perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit hingga menimbulkan luka berat. Selain itu dalam pembuktiannyapun berdasarkan Pasal 55 UU PKDRT, diatur bahwa:
“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.” Sehingga keterangan saksi korban saja ditambah dengan satu alat bukti yang sah, maka pelaku KDRT dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.
Adapun yang termasuk Alat Bukti yang Sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
- keterangan saksi
- keterangan ahli
- surat
- petunjuk
- keterangan terdakwa
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Berbeda dengan tindak pidana lain yang membutuhlan keterangan saksi korban beserta dua alat bukti yang sah, dalam kasus KDRT hanya membutuhkan keterangan saksi korban dan satu alat bukti. Kemudian pada 6 Juli 2023 TA juga melaporkan LY atas dugaan penganiayaan dengan nomor LP.B/13/VII/2023/DIY/RES KP/SEK PENGASIH. Namun sayangnya pada tanggal 14 Juni 2023 LY melaporkan TA atas dugaan penganiayaan dengan nomor LP.B/11/VI/2023/ SPKT/ POLSEK PENGASIH dan laporan LY diproses terlebih dahulu.
Akibatnya TA dijerat pasal 351 dan 352 KUHP. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 351 sendiri ialah adanya kesengajaan, adanya perbuatan dan adanya akibat yang menimbulkan rasa sakit dari perbuatan tersebut dengan dibuktikan dengan visum et repertum. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, undang-undang tidak mendefinisikan secara jelas apa itu ”penganiayaan” namun menurut yurisprudensi ”penganiayaan” diartikan sebagai kesengajaan menyebabkan rasa tidak enak kepada orang.
Jika ditilik dari posisi kasusnya TA sebagai istri sah yang mendapati suaminya berselingkuh tentu ia kecewa dan merasa dicederai hak-haknya. Semestinya TA tidak dapat dijerat pasal penganiayaan karena ia tidak memenuhi unsur-unsur dalam pasal 351 KUHP. Yang pertama TA hanya ingin mengetahui ”ada apa” didalam rumahnya sendiri tentu tidak ada ”niat” atau ”kesengajaan” untuk melakukan penganiayaan tersebut. Yang kedua TA juga tidak melakukan perlawanan atas kekerasan yang dilakukan oleh LY kepada dirinya. Hal ini juga diterangkan oleh ayah TA bahwa saat kejadian tersebut TA juga terhubung melalui telfon dengan orang tuanya. Yang ketiga ”tidak adanya akibat” jelas karena TA tidak melakukan penganiayaan terhadap LY.
Tinggalkan Balasan