Oleh: Aryudha Khrisna Nugraha
Paralegal LBH Sembada
Melihat banyaknya kasus perzinahan dewasa ini yang dilakukan oleh seorang istri atau suami yang telah kawin membuat banyaknya problematika yang hadir dan memberikan tantangan dalam hukum di Indonesia. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum seperti bagaimana jika seorang istri hamil hasil dari perbuatan zina, bagaimana kedudukan anak dalam kandungannya, bagaimana hak yang dapat diperoleh oleh anak nantinya ketika lahir. Berkelindan dengan pertanyaan itu, saat ini menjadi pertanyaan bagaimana jika seorang perempuan yang telah kawin melakukan hubungan suami istri dengan laki-laki yang bukan suaminya termasuk dalam perbuatan zina.
Menurut R. Soesilo, perbuatan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau peremuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 284 Ayat 1 huruf b KUHP yang berbunyi “Diancam pidana penjara paling lama Sembilan bulan seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya” dan diatur juga dalam Pasal 284 Ayat 2 huruf b “ seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya”. Sehingga secara pidana akibat hukum dari seorang istri yang melakukan perbuatan zina saja sudah dijatuhi hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP tentang Perzinahan.
Timbul pertanyaan lain, bagaimana akibat hukumnya secara perdata, khususnya mengenai pengakuan anak hasil zina tersebut, apakah dapat diakui sebagai anak dari laki-laki yang melakukan hubungan suami istri dengan seorang perempuan yang telah kawin dan hak apa saja yang dimilikinya? Perihal hak-hak anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Undang-Undang Perlindungan Anak). Salah satunya adalah setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, maka baik itu diluar kawin maupun anak hasil dari perkawinan yang sah sebenarnya memiliki hak untuk diasuh oleh orang dan diberi kehidupan yang layak oleh orang tuanya.
Namun tetap saja seorang anak hasil zina memiliki kekhususan tersendiri mengenai hubungan orang tuanya, tidak begitu saja langsung mendapatkan hak yang sama, karena menurut Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata ibunya dan keluarga ibunya” akan tetapi hal ini telah diperbaharui dengan Putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 yang menyatakan bahwa “Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Sehingga artinya sesungguhnya anak tetap dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan hasil pemeriksaaan medis atau dapat melalui penetapan pengadilan. Maka sebenarnya akibat hukum seorang istri yang mengandung anak hasil zina dapat dibedakan menjadi dua akibat yaitu
- Akibat pertama, terhadap seorang istri dan laki laki yang melakukan hubungan suami istri tidak secara sah adalah dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP
- Akibat Kedua, terhadap anak hasil zina tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, namun dapat memiliki hubungan keperdataan dengan keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan melalui pemeriksaan medis dan penetapan pengadilan.
Tinggalkan Balasan