PENERAPAN HUKUM MENGENAI PEMBAGIAN HARTA GONO GINI DALAM HAL SUAMI YANG TIDAK MENAFKAHI ISTRI

Oleh

Aryudha Khrisna Nugraha

Paralegal LBH Sembada

Mencapai rumah tangga yang bahagia dan harmonis merupakan impian seluruh pasangan suami istri. Tidak adanya pertengkaran yang mengakibat hancurnya rumah tangga adalah hal yang sangat diharapkan. Apalagi pertengkaran yang disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, maupun karena ekonomi merupakan hal yang sangat harus dihindari suatu pasangan suami istri. Namun meskipun begitu, hubungan suami istri tetap tidak dapat menghindari suatu permasalahan yang ujungnya adalah perceraian.

Bahkan dalam perceraian sering kali terjadi permasalahan lanjutannya yaitu mengenai pembagian harta gono-gini. Dalam hukum positif di Indonesia harta gono-gini disebut sebagai harta bersama. Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Artinya selama masih memiliki hubungan suami istri maka seluruh harta yang didapat merupakan harta bersama. Namun bagaimana jika dalam suatu perkawinan seorang suami yang harusnya melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya sebagaimana dalam Pasal 34 UU Perkawinan namun tidak menjalankan kewajibannya. Hal ini selaras dengan Pasal 80 Ayat 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi :

Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

  1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
  2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
  3. biaya pendididkan bagi anak.

Sehingga artinya suamilah yang wajib memberikan nafkah dalam sebuah perkawinan, walaupun dalam realitnya harta istri juga termasuk dalam harta bersama, namun suami dan istri memiliki hak dan kewajibannya sendiri. Hal ini lah yang dapat menjadi dasar pertimbangan untuk pembagian harta gono-gini. Secara normatif Pembagian harta gono-gini sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU Perkawinan jo Putusan MA Nomor 1448K/Sip/1974 menerangkan

Sejak berlakunya UU Perkawinan tentang perkawinan sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri.

Sehingga pada dasarnya harta bersama haruslah dibagi secara rata. Namun jika suami tidak menjalankan kewajibannya, pembagian harta gono gini dapat dibagi tidak secara rata karena suami. Hal ini dijelaskan dalam Putusan Mahkamah agung Nomor 266 K/AG/2010 yang menerangkan pembagian harta bersama untuk suami ¼ (seperempat) dan istri ¾ (tiga perempat). Pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut karena selama perkawinan merupakan hasil kerja keras istri dan suaminya tidak bekerja.

Share:

Categories:

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Open chat
    Hi
    Ada Yang bisa kami bantu..??