Anies Mahanani
Devi Aprilina
Indonesia memiliki strategi dalam pembangunan nasional untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tanpa adanya diskriminasi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata. Dalam hal ini penyandang disabilitas memiliki kedudukan hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya dalam rangka ikut serta pembangunan nasionalnya. Dengan adanya hak dan kewajiban, maka Penyandang Disabilitas dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 (UU Penyandang Disabilitas). Penyandang disabilitas dan sudah sepantasnya mendapatkan perlindungan hukum dari berbagai tindakan diskriminasi. Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan adalah bagian dari hak asasi bagi setiap orang, termasuk Penyandang Disabilitas.
Permasalahan yang timbul yaitu pengaturan mengenai kuota lapangan pekerjaan sebagaimana diatur dalam UU Penyandang Disabilitas belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi bersama Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda) Nurul Saadah menyatakan bahwa Kelompok penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan tidak dilibatkan sejak awal proses pembahasan. Padahal substansi UU Cipta Kerja sangat relevan dan berdampak terhadap kehidupan penyandang disabilitas.
Hak-hak disabilitas yang termuat dalam UU Penyandang Disabilitas tidak terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta kerja), dengan penggunaan istilah penyandang cacat yang merupakan kejahatan epistemik bertentangan dengan paradigma model sosial penyandang disabilitas dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, bahwa keadaan seorang penyandang disabilitas haknya tidak diakomodasi oleh lingkungan karena ada berbagai hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas mulai dari stigma negatif, minimnya aksesibilitas, sampai pada cara pandang yang menempatkan kondisi disabilitas seseorang sebagai beban. Hambatan tersebut menjadikan kecendurungan peluang untuk mengakses layanan mendapatkan pekerjaan yang relatif lebih rendah dibandingkan non-penyandang disabilitas.
Kedudukan, hak dan kewajiban Penyandang Disabilitas sama dengan masyarakat non disabilitas yakni berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan hak asasi manusia. Hak tersebut diimplementasikan dalam UU Penyandang Disabilitas yang diciptakan untuk menghilangkan praktik diskriminatif dengan cara menguatkan ketentuan-ketentuan yang sudah baik dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Salah satu pasal yang dinilai sudah baik yaitu Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Pasal 172 tersebut telah memberikan perlindungan hak bagi pekerja yang megalami kecelakan kerja sehingga mengakibatkan pekerja tersebut menjadi penyandang disabilitas untuk tidak memutuskan hubungan kerja secara sepihak oleh pemberi kerja, namun pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan jika ada permintaan dari pekerja dengan disabilitas dan pasal tersebut juga mengatur mengenai hak mendapatkan pesangon. Dalam ketentuan ini dapat dikatakan bahwa kondisi pekerja yang disabilitas tidak dapat dijadikan alasan untuk pemutusan hubungan kerja. Ketentuan ini juga diatur dalam UU Penyandang Disabilitas Pasal 11 huruf d yang menyatakan bahwa tidak diberhentikan karena alasan disabilitas. Pasal 172 tersebut juga melindungi hak pekerja untuk kembali bekerja setelah mengalami kecelakaan kerja yang menyebabkan mengalami kecacatan. Hal ini juga diatur dalam Pasal 11 huruf e UU Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan mengalami kecacatan mendapatkan program kembali bekerja.
Disahkan UU Cipta Kerja justru melemahkan Hak Penyandang Disabilitas dan mempersempit ruang Penyandang Disabilitas dalam kesempatan kerja. UU Cipta Kerja tersebut menghapus ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan dan diperburuk dengan dimunculkannya pasal baru dalam UU Cipta Kerja yaitu Pasal 154A ayat (1) huruf l yang berbunyi : “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;”.
Ketentuan baru tersebut kontradiktif dengan UU Penyandang Disabilitas Pasal 11 huruf d dan huruf e karena memungkinkan pemutusan hubungan kerja dilakukan bukan atas kesepakatan antara pekerja dengan pemberi kerja namun atas inisiatif pemberi kerja dengan alasan kondisi disabilitas pekerja. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 154A ayat (1) huruf l dan dihapuskannya Pasal 172 adalah bentuk diskriminasi dan pelemahan perlindungan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Perubahan tersebut tidak sejalan dengan UU Penyandang Disabilitas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Fungsi Undang-Undang untuk melindungi hak pekerja dan menempatkan posisi pekerja seimbang dengan pemberi kerja menjadi hilang. Implementasi program kembali bekerja yang diatur dalam UU Penyandang Disabilitas dikhawatirkan akan ditinggalkan karena UU Cipta Kerja memberi kedudukan pemberi kerja memiliki pilihan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan disabilitas.
Dapat diambil kesimpulan bahwa Penyandang disabilitas memiliki kedudukan hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya dalam rangka ikut serta pembangunan nasionalnya, proses pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan penyandang disabilitas telah berdampak pada muatan yang tidak harmonis terhadap kebutuhan hak-hak penyandang disabilitas. Permasalahan yang dihadapi yaitu pengaturan mengenai kuota lapangan pekerjaan sebagaimana diatur dalam UU Penyandang Disabilitas tidak sepenuhnya terimplementasi dengan baik.
Dalam UU Cipta Kerja hak-hak penyandang disabilitas tidak terakomodasi menimbulkan hambatan peluang untuk mengakses layanan mendapatkan pekerjaan yang relatif lebih rendah dibandingkan non-penyandang disabilitas. Sebagaimana, fungsi Undang-Undang untuk melindungi hak pekerja dan menempatkan posisi pekerja seimbang dengan pemberi kerja menjadi hilang, maka perubahan itu tidak sejalan dengan semangat mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif. Diperlukannya partisipasi masyarakat dalam penyusunan perundang-undangan untuk meminimalisir kelemahan UU Cipta Kerja. Seharusnya upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi lebih tegakkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan penyandang disabilitas untuk menjamin kesamaan hak dan kesempatan kelangsungan hidup penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia.
Referensi
Hartanto, M. Felani Budi dan Isnenningtyas Yulianti. 2018. HAM Penyandang Disabilitas Mental Di Panti Rehabilitasi Sosial. Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Nursyamsi, Fajri. 2020. Kertas Advokasi Kebijakan Atas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Dalam Kerangka Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Widjaja, Alia Harumdani, WindaWijayanti, dan Rizkisyabana. 2020. Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan. Jurnal Konstitusi Volume 17 Nomor 1 (Hal 198-223). Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI.
Istifarroh dan Widhi Cahyo Nugroho. 2019. Perlindungan Hak Disabilitas Mendapatkan Pekerjaan di Perusahaan Swasta dan Perusahaan Milik Negara. Jurnal Mimbar Keadilan Volume 12 Nomor 1 (Hal 21-34). Surabaya : Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945.
Harahap, Rahayu Repindowaty dan Bustanuddin. 2015. Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) dalam Perlindungan Hukum, difable/disabilitas, CRPD : Jurnal Inovatif Volume VIII Nomor 1 (Hal 17-29).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Mashabi, Sania. 5 Oktober 2020. UU Cipta Kerja : Pelanggar Perjanjian Kerja Bisa Langsung di PHK. (https://nasional.kompas.com/read/2020/10/05/21515021/uu-cipta-kerja-pelanggar-perjanjian-kerja-bisa-langsung-di-phk?page=all). Diakses Pada Jumat, 15 Januari 2021 Pukul 11.17 WIB.
Putsanra, Dipna Videlia. 6 Oktober 2020. Beda isi UU Cipta Kerja Omnibus Law dan UU Ketenagakerjaan 13/2003. (https://tirto.id/beda-isi-uu-cipta-kerja-omnibus-law-dan-uu-ketenagakerjaan-132003-f5Dv). Diakses Pada Jumat, 15 Januari 2021 Pukul 10.46 WIB.
Kustiani, Rini. 12 Oktober 2020. Penyandang Disabilitas Mendesak Batalkan UU Cipta Kerja karena 10 Alasan ini. Dalam Difabel Tempo.co (https://difabel.tempo.co/read/1395312/penyandang-disabilitas-mendesak-batalkan-uu-cipta-kerja-karena-10-alasan-ini/full&view=ok). Diakses Pada Jumat, 15 Januari 2021 Pukul 21.05 WIB
Riewanto, Agus. 13 Oktober 2020. Menguak Cacat Formil UU Cipta Kerja Oleh: Agus Riewanto. Dalam Hukum Online (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f854ded1a0b5/menguak-cacat-formil-uu-cipta-kerja-oleh–agus-riewanto/). Diakses Pada Jumat, 15 Januari 2021 Pukul 11.20.
Tinggalkan Balasan