Zain Ulumudin
Mahasiswa Program Studi Psikologi, Universitas Teknologi Sumbawa
Pelecahan Seksual merupakan perbuatan atau tingkah laku yang mengandung unsur seksual yang tidak diinginkan oleh objeknya, Pelecehan seksual memiliki ruang lingkup yang sangat luas, bisa bentuk lisan maupun tulisan, fisik dan non fisik, dalam bentuk fisik (mencolek, meraba, mengelus, memeluk dan sebagainya), mempertunjukan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan si objek jika menolak memberikan pelayanan seksual, hingga pemerkosaan dan dalam bentuk lisan atau verbal (Catcalling) (komentar yang tidak senonoh, gurauan berbau seksual dan sebagainya)
Catcalling atau yang dapat diartikan sebagai pelecehan verbal merupakan suatu perbuatan yang dilakukan seperti melontarkan kata bersifat porno/seksual maupun perilaku genit, gatal, atau centil kepada orang lain yang menimbulkan rasa tidak nyaman, contohnya berupa siulan dipanggil dengan sebutan “hay cantik sini duduk di pangkuan abang”, “cewek main yuk, semalam berapa, jangan malu- malu”, “mau kemana neng, godain kita dong, sini abang antarin”, yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, komentar yang tidak diinginkan, seperti “cantik sekali neng, body nya semok sekali”, “jangan galak-galak nanti dicium ya!”, dan diamati tubuhnya oleh orang asing hingga sampai pada perbuatan yang menimbulkan suatu bentuk rabaan yang tidak diharapkan yang menimbulkan rasa tidak aman ini dikategorikan sebagai street harassment atau pelecehan di jalan. Perbuatan catcalling ini bisa sampai pada perbuatan pemerkosaan. Objek yang sering mendapatkan pelecehan seksual verbal atau catcalling adalah dari kalangan perempuan. Biasanya Perempuan yang menjadi korban catcalling ini sudah berusaha untuk tidak merespon perbuatan dari si pelaku catcalling (catcaller). Namun nyatanya penolakan tersebut membuat catcaller merasa penasaran dan melakukan kembali jenis catcalling lainnya yang kemudian membuat perempuan merasa dilecehkan dan merasa hak asasinya terganggu. Bahaya catcalling lebih cenderung memicu dari segi psikologis korban dan berpengaruh pada emosi korban tersebut, seperti ada rasa takut dalam diri korban, lebih cendrung merasa tidak nyaman, tidak mendapat keamanan ketika berada di luar rumah, perasaan malu akibat dari perbuatan catcalling. Dengan demikian perbuatan catcalling ini bisa menjadi tindak pidana kesusilaan yang terjadi di ruang publik.
Jika memfokuskan pada kata perbuatan yang tidak diinginkan, dapat dikategorikan bahwa ini merupakan suatu delik aduan, pidana yang berpotensi sebagai perbuatan pidana. Pelecehan seksual verbal (catcalling) dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur, asas dalam hukum pidana, serta nilai-nilai yang terkadung di dalam masyarakat. Dasar hukum dalam perbuatan pelecehan seksual verbal (catcalling) dalam perspektif hukum pidana bisa dilihat dari beberapa pasal yang berkaitan dengan pelecehan seksual verbal. Pasal tersebut yakni Pasal 281 Ayat (2) KUHP, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, Pasal 35 Undang-Undang Tentang Pornografi. Ada hal yang mendasar mengapa digunakannya Undang-Undang Pornografi sebagai dasar hukum dalam perbuatan catcalling, yaitu dilihat dari pengertian Pornografi yang termuat di dalam Pasal 1 Angka 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pada dasarnya, pengenaan pasal-pasal diatas tidak lah cukup menjamin mengenai kepastian hukumnya. Perlulah aturan-aturan khusus yang mengatur perbuatan catcalling itu sendiri. Di samping itu tidak ada lagi anggapan dari masyarakat maupun pemerintah untuk tetap menormalisasi perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang wajar, melainkan merupakan suatu perbuatan pidana yang perlu pengaturan lebih lanjut untuk mencapai suatu kepastian hukum dalam penegakan hukumnya. Sehingga yang menjadi korban dalam perbuatan catcalling memiliki keberanian dalam melaporkan ataupun mengungkap kejadian yang dialaminya.
Kemudian pengaturan perbuatan pelecehan seksual verbal (catcalling) dalam perspektif hukum pidana di masa yang akan datang, memerlukan kajian mengenai moral, nilai asas-asas, serta teori yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana. Dikaitkan dengan Pasal 241 RUU KUHP, Pasal 11 dan Pasal 12 RUU KPS. Aturan tersebut menjadi kebijakan hukum konstituendum bagi Indonesia. Untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan catcalling harus perlu memperhatikan syarat- syarat kriminalisasi yaitu, apakah perbuatan tersebut tidak disukai dan dibenci merugikan korban, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum, dan apakah perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa sehingga membahayakan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Hukum
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Pornografi. Nomor 44 Tahun 2008. UU Nomor 44 Tahun 2008. TLNRI Nomor 4928.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006TentangPerlindungan Saksi dan Korban. UU Nomor 31 Tahun 2014.LNRI Tahun 2006 Nomor 4635, TLNRI Nomor 5602.
Buku
Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Cetakan Kesatu. PT Refika Aditama, Bandung, 2001.
Mulyati Pawennei, dan Rahmanuddim Tomaili. Hukum Pidana. Mitra Wacana Media, Jakarta, 2015.
P.A.F Lamintang, dan Lamintang Theo. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kesopanan. Cetakan Kedua. Edisi Kedua. Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Jurnal/Makalah Ilmiah
Eka Ayuningtyas,dkk, ”Konsep Pencabulan Verbal dan Non Verbal dalam Hukum Pidana.” Jurnal Education and Development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan, Vol. 7 No. 3, 2019.
Fiana Dwiyanti, “Pelecehan Seksual Pada Perempuan di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta)”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 10 No. 1, 2014.
Asrianto Zainal, ” Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual ditinjau Dari Kebijakan Hukum Pidana, Vol. 7 No.1, 2014.
Colleen O´Leary, “Catcalling As a “double Eged Sword”: Midwestern Women, Their Experiences, and the Implications of Men´s Catcalling Behaviors, (Illinois State University, 2016).
Dewi, Ida Ayu Adnyaswari. “ Catcalling: candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual”, Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 4 No. 2, Fakultas Hukum Udayana, Bali, 2019.
Yuni Kartika, Andi Najemi “Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) dalam Perspektif Hukum Pidana”, PAMPAS: Journal Of Criminal, Vol. 1 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2020.
Tinggalkan Balasan