Ketika Data Pribadi Dipakai untuk Pinjol: Langkah Hukum yang Harus Ditempuh

Bayangkan suatu pagi Anda menerima pesan singkat dari sebuah nomor tak dikenal. Isinya ancaman penagihan utang, lengkap dengan nama Anda dan foto KTP yang pernah Anda gunakan untuk keperluan administrasi. Padahal, Anda merasa tidak pernah mengajukan pinjaman ke aplikasi pinjol mana pun. Situasi semacam ini bukan sekadar menimbulkan panik, tetapi juga rasa tidak berdaya: bagaimana mungkin identitas pribadi bisa dipakai orang lain untuk berutang?

Fenomena penyalahgunaan data pribadi untuk pinjaman online memang semakin marak. Banyak korban tiba-tiba ditagih utang, dicemarkan namanya, bahkan diteror oleh debt collector. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah meminjam. Di titik inilah, hukum hadir untuk memberikan perlindungan.

Payung Hukum Perlindungan Data

Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang menjadi dasar kuat melindungi warga dari penyalahgunaan data. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa setiap pemrosesan data pribadi harus berdasarkan persetujuan sah dari pemiliknya. Jika dilanggar, pelaku bisa dijerat dengan pidana maupun sanksi administratif.

Selain UU PDP, ketentuan KUHP tentang penipuan dan pemalsuan, serta UU ITE terkait penyalahgunaan dokumen elektronik, juga bisa digunakan. Artinya, korban punya landasan hukum yang kokoh untuk menolak penagihan dan menuntut pelaku.

Apa yang Harus Dilakukan Korban?

Dalam menghadapi situasi ini, langkah pertama adalah tetap tenang dan tidak menghapus jejak. Semua pesan, tangkapan layar, bahkan nomor rekening tujuan pencairan, harus disimpan. Bukti digital inilah yang kelak menjadi senjata ketika Anda melapor.

Langkah berikutnya adalah melakukan pengecekan ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Dari sana, korban bisa memastikan apakah ada pinjaman yang benar-benar tercatat atas namanya. Jika ada, data ini menjadi bukti tambahan bahwa penyalahgunaan memang terjadi.

Tidak kalah penting, laporan resmi harus segera disampaikan. OJK melalui layanan konsumen siap menampung pengaduan, sedangkan Satgas Waspada Investasi bisa menindak pinjol ilegal. Untuk aplikasi yang beroperasi di luar izin resmi, Kominfo dapat menutup akses agar tidak lagi merugikan korban lain.

Namun, jalur administratif saja sering kali tidak cukup. Korban juga perlu membuat laporan polisi, khususnya ke unit siber. Dari laporan inilah proses pidana dimulai, dengan tuduhan penipuan, pemalsuan, atau penyalahgunaan identitas.

Jika ada rekening bank atau nomor telepon yang digunakan dalam proses, segera hubungi pihak bank maupun operator untuk melakukan pemblokiran. Langkah ini akan mencegah kerugian lebih besar.

Hak Korban Menurut UU PDP

UU PDP memberikan hak yang sangat jelas kepada pemilik data. Anda bisa meminta agar pemrosesan dihentikan, data dihapus, atau menuntut klarifikasi dari pihak yang menyalahgunakan. Jika hak ini diabaikan, korban dapat membawa kasus ke jalur hukum. Bahkan, jalur gugatan perdata terbuka lebar, baik untuk menuntut ganti rugi finansial maupun pemulihan nama baik.

Pencegahan: Belajar dari Kasus

Setiap kasus memberi pelajaran penting. Jangan pernah sembarangan menyebarkan salinan KTP di internet, bahkan untuk keperluan administrasi sederhana. Pastikan data digital Anda dilindungi dengan sandi yang kuat, autentikasi ganda, dan pengecekan berkala terhadap catatan kredit di SLIK OJK.

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *